Darma Wacana IPM Jaya Dhaksa Sanyoga Digelar BKS-LPD Bali

1 week ago 4
ARTICLE AD BOX
GIANYAR, NusaBali

Umat Hindu di Bali menjadikan pemahaman sastra sebagai landasan dalam berpraktik ritual keagamaan. Upaya ini penting agar setiap upacara Hindu benar – benar mampu menguatkan taksu Bali, termasuk kegiatan terkait Nyepi setiap tahun Isaka.

Hal itu ditegaskan sulinggih Ida Pandita Mpu Jaya Dhaksa Sanyoga dalam Darma Wacana bertema ‘Makna Nyepi dan Pengamalan Catur Purusa Arta Mengelola LPD Bali’ digelar Badan Kerja Sama Lembaga Perkreditan Desa (BKS - LPD) Provinsi Bali.

Darma Wacana ini dilaksanakan di Ruang Pertemuan Kantor BKS – LPD Kabupaten Gianyar, Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, Sabtu (1/3). Darma wacana diikuti ratusan peserta dari jajaran pengurus BKS-LPD se Bali dan kalangan pengelola LPD se Bali.

‘’Jika kegiatan berupacara keagamaan tanpa didasari sastra atau Weda, maka akan menjadi kebiasaan yang tidak benar. Namun, karena dilakukan berulang-ulang bisa diterima jadi kebenaran,’’ tegas sulinggih dari Griya Sudha Giri Madana, Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Badung, ini.

Ida Pandita menyebut dirinya adalah salah seorang sulinggih muda yang hadir dengan pandangan baru tentang pratik Hindu dan budaya Bali yang telah ada. Oleh karena itu, Ida Pandita mengaku kerap melihat praktik-praktik tersebut aneh, terutama karena tanpa dasar sastra. Misal, pembuatan dan pengarakan Ogoh-ogoh yang disebut-sebut sebagai bagian dari rangkaian perayaan menyambut tahun baru Isaka berupa Nyepi. Padahal, Ogoh-ogoh tak ada hubungannya dengan Nyepi. ‘’Karena keberadaan Ogoh-ogoh dikaitkan dengan Nyepi, tidak ada dasar sastranya. Apalagi dengan Pangrupukannya yang disertai memakai mercon,’’ ujarnya.

Masih terkait Ogoh-ogoh yang tanpa ada dasar sastranya, Ida Pandita mengaku heran karena proses pembuatan dan biaya materi Ogoh-ogoh lebih besar dari biaya upacara Pacaruan di setiap Catus Pata desa. ‘’Saya tidak menentang kreativitas yang berbiaya. Tapi, janganlah menghambur-hamburkan uang yang tak pada tempatnya,’’ ujarnya.

Ida Pandita menduga kemeriahan pengarakan Ogoh-ogoh yang biasanya saat Pangrupukan, sehari sebelum Nyepi, lebih karena generasi muda Bali terinspirasi dari budaya lain, misalnya Barongsai. Menurutnya, budaya Ogoh-ogoh di Bali ini muncul sekitar tahun 1983, yakni Nyepi yang disertai Ogoh-ogoh saat Pangrupukan. Saat itu, Hari Suci Nyepi ditetapkan sebagai hari libur nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 3 Tahun 1983 tanggal 19 Januari 1983, bersamaan dengan Hari Raya Waisak.

Ida Pandita mengingatkan, selain paham sastra, umat Hindu mesti memahami makna dari kegiatan ritual yang dilakukan. Misal, inti dari Pangrupukan adalah somya kala, antara lain dengan api prakpak dan suara gora dalam bentuk membunyikan benda-benda yang layak dibunyikan. Lanjut mempersembahkan Tri Kartika berupa mesui, suna, dan jangu, yang dipakai simbuh yang disemburkan untuk mengusir kala atau mala di sikut satak atau pekarangan. ‘’Tradisi ini sudah sejak lama ada di Bali, tinggal didalami makna-maknanya,’’ jelasnya. Sebelum Pangrupukan tentu dilaksanakan Pacaruan Tawur Kasanga.

Besoknya, saat Nyepi dilakukan Catur Brata Panyepian berupa empat larangan atau amati, yakni Amati Gni, Amati Lalanguan, Amati Lalungan, Amati Karya. Menurut Ida Pandita, Amati Gni atau api bermakna mematikan Sad Ripu, yakni enam musuh dalam diri manusia berupa Kama/hawa nafsu, Lobha/tamak,

Kroda/marah, Moha/bingung, Mada/mabuk, dan Matsarya/iri hati.

Namun, tantangan untuk mematikan musuh dalam diri ini sangat berat. Misalnya, kini muncul kegiatan Penampahan Nyepi, yang ditandai penyembelihan hewan jelang Nyepi. Untuk menjalankan Amati Lelungan, malah banyak anak-anak main sepakbola siang sampai sore ke tempat-tempat tertentu. Diingatkan juga saat melaksanakan Amati Karya, jangan digantikan dengan main judi.

‘’Terpenting, saat Ngembak Gni, coba tanya diri sendiri, apa saya berhasil menerapkan Catur Berata Penyepian ini,’’ ujarnya.

Ketua BKS LPD Provinsi Bali Drs I Nyoman Cendikiawan SH MSi mengatakan BKS-LPD terus berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (LPD) baik secara sekala dan niskala. Kegiatan darma wacana ini terkait peningkatan SDM secara niskala. Menurutnya darma wacana ini amat penting untuk meningkatkan pemahaman umat terhadap ajaran agama Hindu-Bali. Jika pemahaman sastra agama Hindu telah dikuasai, maka ajaran agama Hindu dapat diterapkan dengan baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan ini juga bagian dari merefresh pikiran umat dalam menjaga keseimbangan hidup sebagaimana dipertegas dalam konsep Trti Hitakarana. ‘’Terpenting, dengan pemahaman praktik keagamaan yang baik dan benar menurut sastra Hindu, karyawan LPD ini makin tangguh dalam bekerja serta menghadapi segenap permasalahan,’’ jelasnya.7lsa
Read Entire Article