ARTICLE AD BOX
Dua wajah laki-laki dan perempuan itu diletakkan bersebelahan untuk memperlihatkan keterhubungan keduanya. Wajah perempuan melihat ke arah kiri dan wajah laki-laki melihat ke arah kanan. Lukisan wajah perempuan terlihat tanpa lelehan cat. Sedangkan pada lukisan laki-laki terlihat lelehan tersebut yang memperlihatkan kesan lebih ekspresif. Terdapat kupu-kupu biru pada bagian dahi lukisan laki-laki.
Menarik untuk kemudian menginterpretasikan kupu-kupu biru tersebut yang dilukiskan sangat indah, mungkin pelukis berbicara tentang jiwa atau soul yang biasa melekat pada makna kupu-kupu sebagai simbol.
Sang pelukis, Ni Nyoman Sani, 49, berhasil mengajak penikmat seni berlama-lama memandangi lukisannya, sembari merenungi kegelisahan yang dirasa wajah-wajah yang ditampilkan.
Dalam pameran lukisan bertajuk Denyar Renjana (Pulse of Passion) pelukis kelahiran Sanur membawa tiga lukisannya, semuanya mengambil tema wajah, the look. “Jadi ada ekspresi karakter wajah saja, yang saya kuatkan dengan teknik drawing,” ujar Sani ditemui di sela pembukaan pameran, Jumat (7/3) petang.
Peraih UOB Painting Of The Year Indonesia tahun 2023 ini seakan ingin mengatakan bicara tidak selalu harus dengan suara lantang, diam pun punya maknanya sendiri. Menurutnya tidak semua orang mengekspresikan dirinya lewat bicara. Bagi Sani, diam tidak selalu inferior. “Diam itu bisa bicara banyak buat saya, jadi itu yang ingin saya jabarkan di karya saya,” ucapnya.
Selain membaca kesadaran, wajah-wajah Sani juga mengajak kita untuk menyadari bahwa wajah-wajah orang Bali juga mengalami dinamika. Masuknya orang-orang dari luar, termasuk luar negeri, memberi warna baru pada wajah ‘orang Bali’. Hal itu digambarkan Sani pada perempuan berhidung mancung yang memakai subeng (anting-anting tradisional Bali).
Tidak heran Sani ingin menggambarkan dinamika genetik orang Bali saat ini. Dia begitu dekat dengan fenomena ini karena kakaknya menikah dengan warga negara asing. Sani pun mencermati pencarian jati diri yang tak mudah dari anak-anak hasil kawin campur.
“Percampuran genetik sekarang kan sudah alamiah sekali, kita tidak bisa menentukan orang Bali menikah dengan orang Bali, ini secara plural sudah terjadi, kita tidak bisa menghambat itu,” sebut Sani.
“Mix itu juga mengandung pesan sesuatu karena ketika anak-anak mix itu kesulitan di masyarakat mereka mau di mana itu yang terjadi. Jatuhnya mereka akan menjadi masyarakat urban tidak memilih keluarga ibu atau ayah, tetapi memilih berdiri sendiri,” imbuh ibu dua anak ini.
Pameran kolaborasi Santrian Art Gallery dan Mola Gallery tidak hanya menghadirkan lukisan-lukisan Ni Nyoman Sani. Ada 4 perupa lainnya yang berbasis di luar Bali yang juga dipamerkan yakni Erica Hestu Wahyuni, Mola, Ni Nyoman Sani, Theresia Agustina Sitompul, Yasumi Ishii.
Kurator pameran Anton Susanto mengatakan Denyar Renjana (Pulse of Passion) merupakan getaran pancaran hasrat dan gairah yang didasari oleh kekuatan cinta yang menyebar ke segala arah.
Karya Sani, ujarnya, mengajak kita merenung untuk menelusuri tentang potret wajah dan mengapa Sani memilih untuk melukis wajah seperti itu. Proses penelusuran yang akan membawa pengunjung untuk mengamati sapuan kuas pada kanvas dan beberapa pendekatan yang berbeda.
Anton menjelaskan, dalam praktek seni rupa, lukisan potret wajah selalu hadir dalam berbagai fase serta konstelasinya dengan suasana zaman pada masa tersebut. Di era seni modern dan klasik seniman melukis wajah didominasi oleh tema tokoh mitologi, tokoh dalam kitab suci, raja, penguasa atau tuan tanah. Namun kini, di era saat ini, hingga kini orang terkenal atau selebriti bahkan karakter film, komik, anime dan lainnya. “Pun dengan karya Sani pada look series ini, bila dihubungkan dengan kondisi Indonesia merupakan wilayah bekas jajahan bangsa Eropa,” ujar Anton.
Menurut Anton, genetika post-colonial syndrome yang tertanam dalam setiap individu di wilayah Indonesia dan semua negara bekas jajahan memiliki peranan yang cukup signifikan dalam hal perspektif melihat diri dan melihat yang di luar diri. Termasuk dalam melihat barat dan timur. Begitupun dalam mengartikulasikan gagasan visualisasi potret figur manusia yang orang Indonesia dalam lukisan bisa jadi beririsan dengan kondisi di atas. “Dan lukisan Sani memberikan ruang tawar bagi kita untuk melakukan interpretasi yang beragam,” tandas Anton.7adi