Gamelan dalam Dialektika Zaman: Sarasehan Mi-Reng Hadirkan Gagasan Musik Baru

8 hours ago 1
ARTICLE AD BOX
Kurator Mi-Reng, Wayan Gde Yudane, membuka sarasehan dengan menekankan bahwa gamelan bukan sekadar warisan budaya, melainkan medan kreasi yang terus hidup, terbuka terhadap kebaruan, namun tetap berpijak pada akar tradisi. Festival ini bekerja sama dengan Bentara Budaya dan Museum Wiswakarma.

Hari pertama sarasehan menghadirkan empat narasumber: etnomusikolog asal AS Christopher J. Miller, komponis Gema Swaratyagita, budayawan Prof. Dr. I Made Bandem, dan penyair Warih Wisatsana, dengan moderator Galuh Praba.

Miller, yang berasal dari Cornell University, memaparkan posisi gamelan dalam lintasan modernisme global. Ia menyoroti pendekatan komponis Dewa Alit dan keberhasilan menembus batas sistem nada tradisional melalui karya seperti Geregel dan Gamelan Salukat. Miller menilai istilah New Music for Gamelan lebih relevan dibanding “kontemporer” karena memuat semangat kosmopolitan sekaligus lokal.

Sementara itu, Gema Swaratyagita memperkenalkan metode TUBUKA (Tubuh, Bunyi, Kata) sebagai pendekatan interdisipliner. “Bunyi tidak sekadar menjadi pelengkap, melainkan tubuh dari ekspresi itu sendiri,” ujarnya. Karya-karya Gema seperti Da-Dha-Dah dan TUBUKA telah tampil di panggung internasional dari Jakarta hingga Frankfurt.

Prof. Bandem mengingatkan bahwa penciptaan gamelan baru bukan hal baru, menyinggung kiprah Colin McPhee lewat Tabuh-Tabuhan sejak 1930-an. Ia menekankan pentingnya membangun ekosistem seni yang didukung kebijakan publik dan kesadaran kolektif.

Pandangan kuratorial disampaikan Warih Wisatsana, yang menilai Mi-Reng bukan hanya festival, tetapi “laboratorium ide” yang mempertemukan seniman, ruang, dan publik. “Kesadaran estetik lahir dari disiplin dan latihan panjang. Spontanitas dalam berkarya justru lahir dari kematangan cipta,” ujarnya.

Melampaui Tradisi

Hari kedua sarasehan mengangkat tema Melampaui Tradisi: Kekinian dalam Kebaruan. Sesi ini dimoderatori akademisi ISI Bali, I Wayan Diana Putra, dengan pembicara Putu Arya Deva Suryanegara, Zachary Hejny, dan Wayan Sudirana.

Arya Deva membahas penciptaan gamelan berbasis teknologi elektroakustik dan psikoakustik, serta pentingnya menjembatani notasi tradisional dengan sistem modern agar gamelan tetap relevan secara global.

Zachary Hejny, musisi asal California yang menetap di Bali sejak 2012, menawarkan pendekatan environmental listening, yaitu penciptaan musik dari suara alam dan interaksi sosial-budaya Bali. Ia menolak pola metrik Barat dan mengusulkan sistem penciptaan berbasis gestur dan dinamika ruang.

Komponis Wayan Sudirana membahas proses kreatif yang melibatkan adaptasi dan transformasi. Ia menekankan pentingnya pengelolaan makna dan nilai dalam musik baru, serta perlunya kejelasan gagasan kepada publik. Ia mencontohkan pendekatannya dalam film Samsara, yang memadukan gamelan, elektronik, dan visual art.

Gamelan sebagai Medan Dialog Global

Penutupan sarasehan dilakukan oleh Yudane, yang menyatakan bahwa keberlanjutan gamelan terletak pada kemampuan membangun jejaring dan kolaborasi lintas budaya. Menurutnya, musik baru gamelan bukan sekadar hibriditas, melainkan wujud ekspresi kosmopolitan yang berakar pada sejarah lokal namun terbuka pada wacana global.

“Gamelan tidak berhenti sebagai artefak budaya, tapi terus bergerak sebagai ekspresi yang relevan dengan zaman,” ujar Yudane.

Sarasehan ini menjadi bagian dari rangkaian menuju puncak Festival Mi-Reng pada Agustus 2025 mendatang, yang akan menghadirkan berbagai karya dan kolaborasi komposer dari dalam dan luar negeri.

Sebelumnya, pada April 2025, Mi-Reng juga menggelar sesi masterclass bertajuk Loka Cipta dengan beragam topik seperti pelarasan gamelan, microtonality, produksi suara live, dan alihmedia antara musik dan puisi.

Read Entire Article