ARTICLE AD BOX
Jika partai politik membangun kaderisasi hingga tingkat paling rendah, menurut dia, seharusnya yang dipercaya untuk menjadi caleg adalah kader partai yang berasal dari tempat pencalonan. “Idealnya sih caleg seharusnya datang dari tempat rakyat yang ingin diwakilinya. Peran wakil rakyat yang harus memperjuangkan aspirasi warga di dapil akan jauh lebih bermakna jika yang berjuang adalah orang yang menyelami lahir dan batin persoalan warga di dapil,” kata Lucius saat dihubungi di Jakarta, Jumat (7/3).
Selama ini, kata dia, ada kecenderungan bahwa penentuan caleg yang didaftarkan untuk ikut ke dalam pemilu anggota legislatif (pileg) merupakan kewenangan dewan pimpinan pusat (DPP) partai politik. Dengan begitu, caleg yang diusung untuk berbagai dapil di Tanah Air merupakan kader yang berdomisili di Jakarta.
Fenomena tersebut dia nilai tidak adil bagi caleg atau kader dari daerah yang mungkin sudah matang untuk dicalonkan, tetapi yang bersangkutan tak punya akses untuk dipilih oleh DPP. Menurut dia, hubungan antara rakyat dan wakilnya memang akan lebih intim jika yang menjadi wakil itu benar-benar dikenal dan terlibat dalam persoalan dan perjuangan warga di dapil. “Emosinya sebagai akamsi (putra daerah) akan lebih terasa ketimbang wakil rakyat dari tempat lain yang ditunjuk partai,” kata Lucius.
Untuk itu, kata dia, perlu ditegaskan terkait bagaimana upaya memprioritaskan kader sesuai dengan domisili dapil dalam pencalonan anggota legislatif. Namun, hal itu juga tidak bisa menjadi suatu keharusan karena ada hal lainnya mengenai administratif. “Enggak bisa juga langsung menjadikannya sebuah keharusan karena dalam banyak hal ada banyak akamsi yang domisilinya di tempat lain karena alasan pekerjaan. Jadi akamsi enggak bisa hanya diukur dari alamat domisili saja,” kata dia.
Berdasarkan informasi yang tertera dalam laman resmi MK, sebelumnya aliansi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Stikubank Semarang, Jawa Tengah, merasa resah dengan besarnya persentase calon anggota legislatif (DPR/DPRD) yang berdomisili bukan di wilayah daerah pemilihannya (dapil). Hal ini terlihat dari daftar calon tetap periode 2019—2024 yang ada pada laman KPU per 28 September 2018, terdapat 3.387 atau 59,53 persen caleg yang berdomisili bukan di wilayah dapilnya.
Untuk itu, para mahasiswa itu mengajukan uji Pasal 240 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi. Pada sidang pendahuluan Perkara Nomor 7/PUU-XXIII/2025 dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan dua hakim konstitusi: Ridwan Mansyur dan Arsul Sani, pada hari Rabu (5/3).n ant