ARTICLE AD BOX
MANGUPURA, NusaBali
Kreativitas para pemuda Sekaa Teruna (ST) Dipa Bhuana Canthi Banjar Basangkasa, Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung tahun ini memasuki babak baru dengan menghadirkan ogoh-ogoh berjudul ‘Tan Patulis' (Bhuta Maya Kosa Garwita). Karya ini tidak hanya menjadi bagian dari perayaan Tahun Baru Saka 1947, tetapi juga merupakan episode terakhir dari trilogi kehidupan yang mereka persembahkan sejak tahun 2023.
Dengan konsep yang kaya makna dan visual yang memukau, ST Dipa Bhuana Canthi kembali membuktikan keunggulan mereka dalam menciptakan seni dan budaya Bali. Apalagi, ornamen yang dipakai untuk mempercantik ogoh-ogoh menggunakan bahan lama dari karya mereka sejak dua tahun yang lalu. Menurut Konseptor Ogoh-ogoh, Raka Kusuma, Bhuta Maya Kosa Garwita merupakan bagian terakhir dari trilogi kehidupan yang mereka rancang. Cerita yang diangkat menggambarkan alur kehidupan dari masa lalu, di mana bagian pertama dan kedua dari trilogi ini telah memperkenalkan konsep keseimbangan dan kelangsungan hidup manusia. Seperti halnya kekuatan Tri Murti sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur.
“Pada awalnya, kami menghadirkan Kala Sri Pati, yang berperan sebagai pengayom kehidupan manusia. Kemudian, Maskumambang hadir sebagai simbol jabang bayi atau keturunan yang berkaitan erat dengan Kala Sri Pati. Kini, dengan Bhuta Maya Kosa Garwita, kami menampilkan kisah sebelum peradaban manusia terbentuk, saat semesta masih berada dalam fase awalnya,” jelas Raka pada, Jumat (7/3).
Dia menjelaskan, dalam Bhuta Maya Kosa Garwita, terdapat tiga tokoh utama yang diangkat sebagai simbol awal peradaban manusia di bumi dengan menekankan nilai dari ‘Bapa Akasa lan Ibu Pertiwi’. Tokoh pertama adalah seorang ibu bernama Sata Rupa yang digambarkan sedang mengandung. Sata Rupa ditemani oleh pasangannya, sang ayah bernama Swayambhumanu. Selain itu, hadir pula sosok Bhuta Maya Kosa yang mencerminkan unsur kekuatan dan energi dalam proses penciptaan keturunan manusia.
“Saya ingin mengimplementasikan bahwa awal dan akhir kehidupan itu serupa. Seorang ibu yang mengandung menggambarkan awal mula kehidupan, sedangkan sosok Bhuta Kala merepresentasikan energi besar yang akan dilebur untuk mendukung kelangsungan hidup manusia,” ungkapnya. Selain itu, Raka Kusuma menyampaikan bahwa mereka memilih judul yang out of the box (di luar kebiasaan) dengan konsep sederhana namun sarat isi dan makna. Raka menjelaskan dari kober kekereb, beti atau kotak ogoh-ogoh sampai agem geraknya memiliki arti yang mendalam tentang kehidupan. Sehingga ogoh-ogoh tersebut bisa menerangkan filosofi kehidupan tanpa harus melihat dan membaca tulisan cerita terlebih dahulu.
“Maka tema atau judulnya adalah ‘Tan Patulis’ karena ini menitikberatkan tentang keserasian dan komposisi yang menjadi perhatian utama agar ogoh-ogoh terlihat proporsional namun orang yang melihatnya bisa langsung mengerti secara garis besar ceritanya,” imbuhnya. Dalam kesempatan yang sama, Arsitek Konseptor, I Gede Edy Santika menjelaskan bahwa dalam pengambilan penokohan, dia memilih pendekatan sederhana agar posisi dan sudut pandang lebih jelas.
“Alur cerita ini saya buat dengan gerak yang sesuai dengan agem, contohnya sosok raksasa agar terlihat lebih menonjol daripada tokoh lainnya. Saya menggunakan gerakan untuk mempertegas agem dari raksasa, namun tetap memastikan semua tokoh memiliki komposisi yang seimbang,” ujar Edy. Dia melanjutkan, ada empat tapel (topeng) yang ditampilkan dalam karya ini. Pertama, Butha Kala yang memiliki ekspresi menyeramkan dengan desain berbeda dari tahun sebelumnya. Raksasa ini dibuat lebih besar dan berisi untuk mempertegas karakternya. Kedua, Aji (ayah) digambarkan dengan ekspresi wibawa yang mencerminkan kebijaksanaan dan peran sebagai pengayom.
Ketiga, tokoh wanita yang mencerminkan keindahan dan kasih sayang. Keempat, Kala Sri Pati, yang direpresentasikan dalam bentuk topeng yang dipegang oleh Aji dan kemudian diberikan kepada tokoh wanita sebagai simbol perjalanan kehidupan.
“Saya ingin mempertegas makna melalui ekspresi tapel, misalnya tokoh wanita yang mengandung diayomi oleh suaminya agar bayinya kelak menjadi Suputra dan Suputri yang baik,” founder Aksamayang Art ini. Dalam pembuatan ogoh-ogoh, Edy mengatakan tetap menggunakan bahan alami seperti tapis, kulit jagung, dan material lain dari alam. Untuk memperindah tampilan, mereka juga menambahkan konsep payasan (hiasan) yang dibuat dari bahan alami. Bahkan, kamen (kain) yang digunakan merupakan kain dari tahun sebelumnya yang kini diperbarui dan ditambahkan elemen dekoratif.
Beberapa ornamen yang sebelumnya digunakan dalam ogoh-ogoh lama, kata Edy juga kini diadaptasi kembali untuk tokoh wanita, seperti gelang dan hiasan rambut atau sanggul. Dari segi teknologi, mereka juga kembali menghadirkan gerakan hidrolik. Bagian kaki dan badan ogoh-ogoh dapat bergerak untuk mempertegas agemnya. Selain itu, pada bagian kepala raksasa juga dapat bergerak dengan berbagai ekspresi, seperti berdiri tegak, merunduk, hingga menggeleng. Sebagai penutup trilogi, Bhuta Maya Kosa Garwita diharapkan Edy bisa menjadi karya yang tidak hanya indah secara visual, tetapi juga penuh makna dan filosofi kehidupan. “Astungkara, trilogi ini sudah terkemas dengan baik. Ini adalah karya terakhir dalam trilogi kami yang sederhana, tetapi memiliki makna yang dalam,” pungkasnya. 7 ol3