ARTICLE AD BOX
“Putusan tersebut progresif yang sesungguhnya Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan hal itu dan tujuan kemerdekaan juga mengamanatkan itu yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Cuman, tingkat implementasinya yang akan susah,” beber Parta, Kamis (29/5/2025).
Hal tersebut disampaikan Parta kepada NusaBali.com usai menjadi pembicara dalam seminar Rumah Kebangsaan dan Kebhinnekaan (Kakek) Festival 2025 di Kelurahan Penatih, Denpasar, Kamis siang.
Menurut politisi asal Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Gianyar ini, putusan MK yang dibacakan Senin (27/5/2025) tersebut menyisakan PR bagi pemerintah terkait SD-SMP swasta mana yang layak dibantu. Kata dia, tentu tidak semua sekolah swasta berhak dikucuri dana APBN maupun APBD.
Kata Parta, untuk SD dan SMP negeri serta sekolah swasta penyelenggara pendidikan dasar di daerah pedesaan, terpencil, dan jauh dari akses sekolah negeri; tidak boleh ada keraguan pemerintah untuk menggratiskan sekolah tersebut. Namun, bagaimana dengan sekolah swasta yang mandiri?
“Masalahnya adalah ketika menggratiskan sekolah swasta mandiri. Menurut saya, untuk sekolah swasta mandiri, serahkan saja ke isi kantong orangtuanya,” tegas Parta.
Lebih lanjut, Parta menjelaskan bahwa SD dan SMP swasta yang menawarkan kekhususan seperti menerapkan kurikulum internasional, mayoritas guru asing, maupun kekhasan tertentu harus dikecualikan dari kebijakan ini. Sebab, sejak awal sekolah itu dituju karena nilai tawar tersebut, bukan faktor biaya.
“Kalau di Bali, Santo Yoseph, CHIS School, Taman Rama, dan sejenisnya itu biarlah dari kantong orangtuanya. Kalau mau gratis ke negeri (atau swasta tidak mandiri), kalau mau bayar silakan ke swasta mandiri,” lanjutnya.
Di sisi lain, Parta mendorong pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah di kabupaten yang menaungi pendidikan dasar segera membantu sekolah-sekolah swasta yang beroperasi di pedesaan. Kata dia, dipastikan sekolah swasta tersebut banyak menampung siswa dari keluarga prasejahtera.
“SD, SMP yang dibuat PGRI, yang dibuat yayasan di kampung-kampung itu harus di-support agar gratis, karena yang sekolah di sana adalah anak-anak miskin pada umumnya yang jauh dari akses (sekolah negeri),” tegas politisi yang dikenal vokal ini.
Selain itu, Parta juga mengingatkan bahwa SD dan SMP negeri tidak boleh memungut uang komite dengan adanya putusan MK yang bersifat final ini. Sebagaimana diketahui, meski pendidikan dasar gratis telah diamanatkan undang-undang jauh sebelum putusan MK ini, praktik pungutan komite masih terjadi di SD dan SMP negeri.
Sebelumnya, Putusan MK Nomor 3/PUU-XXII/2024 telah mengubah bunyi norma Pasal 32 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang sebelum putusan berbunyi sebagai berikut.
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”
Atas putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan perkara yang diajukan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama tiga individu, norma Pasal 32 ayat (2) UU Sisdiknas tersebut berbunyi sebagai berikut.
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat.”
Sementara itu, catatan yang disampaikan Parta mengenai pengecualian ‘penggratisan SD dan SMP swasta’ ini sejalan dengan pertimbangan hukum yang disampaikan MK saat sidang pleno pembacaan putusan. *rat
Hal tersebut disampaikan Parta kepada NusaBali.com usai menjadi pembicara dalam seminar Rumah Kebangsaan dan Kebhinnekaan (Kakek) Festival 2025 di Kelurahan Penatih, Denpasar, Kamis siang.
Menurut politisi asal Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Gianyar ini, putusan MK yang dibacakan Senin (27/5/2025) tersebut menyisakan PR bagi pemerintah terkait SD-SMP swasta mana yang layak dibantu. Kata dia, tentu tidak semua sekolah swasta berhak dikucuri dana APBN maupun APBD.
Kata Parta, untuk SD dan SMP negeri serta sekolah swasta penyelenggara pendidikan dasar di daerah pedesaan, terpencil, dan jauh dari akses sekolah negeri; tidak boleh ada keraguan pemerintah untuk menggratiskan sekolah tersebut. Namun, bagaimana dengan sekolah swasta yang mandiri?
“Masalahnya adalah ketika menggratiskan sekolah swasta mandiri. Menurut saya, untuk sekolah swasta mandiri, serahkan saja ke isi kantong orangtuanya,” tegas Parta.
Lebih lanjut, Parta menjelaskan bahwa SD dan SMP swasta yang menawarkan kekhususan seperti menerapkan kurikulum internasional, mayoritas guru asing, maupun kekhasan tertentu harus dikecualikan dari kebijakan ini. Sebab, sejak awal sekolah itu dituju karena nilai tawar tersebut, bukan faktor biaya.
“Kalau di Bali, Santo Yoseph, CHIS School, Taman Rama, dan sejenisnya itu biarlah dari kantong orangtuanya. Kalau mau gratis ke negeri (atau swasta tidak mandiri), kalau mau bayar silakan ke swasta mandiri,” lanjutnya.
Di sisi lain, Parta mendorong pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah di kabupaten yang menaungi pendidikan dasar segera membantu sekolah-sekolah swasta yang beroperasi di pedesaan. Kata dia, dipastikan sekolah swasta tersebut banyak menampung siswa dari keluarga prasejahtera.
“SD, SMP yang dibuat PGRI, yang dibuat yayasan di kampung-kampung itu harus di-support agar gratis, karena yang sekolah di sana adalah anak-anak miskin pada umumnya yang jauh dari akses (sekolah negeri),” tegas politisi yang dikenal vokal ini.
Selain itu, Parta juga mengingatkan bahwa SD dan SMP negeri tidak boleh memungut uang komite dengan adanya putusan MK yang bersifat final ini. Sebagaimana diketahui, meski pendidikan dasar gratis telah diamanatkan undang-undang jauh sebelum putusan MK ini, praktik pungutan komite masih terjadi di SD dan SMP negeri.
Sebelumnya, Putusan MK Nomor 3/PUU-XXII/2024 telah mengubah bunyi norma Pasal 32 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang sebelum putusan berbunyi sebagai berikut.
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”
Atas putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan perkara yang diajukan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama tiga individu, norma Pasal 32 ayat (2) UU Sisdiknas tersebut berbunyi sebagai berikut.
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat.”
Sementara itu, catatan yang disampaikan Parta mengenai pengecualian ‘penggratisan SD dan SMP swasta’ ini sejalan dengan pertimbangan hukum yang disampaikan MK saat sidang pleno pembacaan putusan. *rat