ARTICLE AD BOX
DENPASAR, NusaBali
Wakil Gubernur Bali I Nyoman Giri Prasta melantik pengurus dan anggota Bali Villa Rental and Management Association (BVRMA) di Kantor Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Jalan S Parman, Niti Mandala, Denpasar, Kamis (6/3). Wagub Giri Prasta menegaskan adanya Perda Nominee (perjanjian pinjam nama) sangat penting untuk melindungi pariwisata Bali dari vila-vila bodong.
Bupati Badung dua periode ini mengatakan BVRMA menjadi mitra strategis baru Pemerintah Provinsi Bali mengawal pariwisata berkelanjutan Bali. Menurut Wagub dengan adanya Perda Nominee tidak akan ada lagi penanaman modal asing menggunakan cara kawin kontrak dengan warga lokal. Pun, wisatawan asing menginap di vila bodong dengan alasan hubungan keluarga juga tidak lagi dimungkinkan dengan adanya landasan hukum yang jelas berupa perda. “Yang kita butuhkan saat ini adalah Perda Nominee, sehingga vila-vila bodong bisa ditindak,” ujar Wagub Giri Prasta.
Wagub mengatakan, Perda Nominee jadi peringatan keras bagi wisatawan asing yang harus menghormati masyarakat dan kebudayaan Bali. Dia menegaskan jangan sampai masyarakat Bali justru dikendalikan oleh orang asing. Wagub menyebut Pemerintah Provinsi Bali akan memprioritaskan rancangan Perda Nominee, sehingga diharapkan bisa ketok palu pada tahun ini. “Kami harus lakukan ini secepatnya, karena ini mendesak,” tandas Wagub.
Selain itu untuk mengatur nilai investasi penanaman modal asing (PMA), yang selama ini dinilai terlalu rendah karena dibantu Undang-undang Ciptakerja yang memudahkan WNA membangun usaha dengan nilai PMA di bawah Rp5 miliar dan mengorbankan jalur hijau dan lahan sawah. “Yang dibutuhkan Bali ini adalah suatu perda nominee, karena aparat penegak hukum tanpa ada perda ini tidak bisa menindak penanaman modal asing apalagi vila ilegal,” ujarnya.
Pemprov Bali ingin WNA yang datang ke Pulau Dewata dapat diatur, seperti contohnya China di mana mereka memiliki sistem transaksi yang tidak membiarkan sembarang warga asing bertransaksi di negaranya. “Kita di sini, yang datang setiap tidur di sana di bilang keluarganya, dengan perda nominee itu semua bisa ditindak termasuk kawin kontrak, ada warga kita dengan sistem kawin kontrak di bayar Rp1 miliar-Rp2 miliar dan dia (WNA) bisa bertransaksi,” kata Giri Prasta. Selama proses pembentukan peraturan daerah ini, wagub asal Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Badung ini meminta asosiasi pariwisata dikomandoi Dinas Pariwisata Bali merancang pohon kinerja dan nantinya dibahas bersama mengenai daftar inventarisasi masalahnya.
“Kami juga sudah koordinasi dengan pihak Imigrasi, dengan pemasangan autogate kami bisa mendeteksi tamu yang datang ke Bali ini, di mana dia tinggal, apa aktivitasnya kami harus tahu,” ujar Giri Prasta.
Sementara itu, Ketua Umum BVRMA Kadek Adnyana mengungkapkan saat ini BVRMA telah menaungi sekitar 70 perusahaan yang mengelola lebih dari 1.000 vila di Bali, dengan anggota yang terdiri dari praktisi dan pengusaha yang memiliki badan usaha legal, baik lokal maupun internasional (PMA).
BVRMA, kata Adnyana, menyoroti berbagai tantangan yang tengah dihadapi industri pariwisata Bali, seperti maraknya praktik penipuan (scammer), penyalahgunaan visa turis oleh WNA untuk bekerja ilegal di Bali, isu keamanan, kemacetan, serta permasalahan lingkungan. Untuk itu kata dia, BVRMA berkomitmen mencari solusi kolaboratif dalam mengatasi permasalahan tersebut demi menjaga keberlanjutan industri pariwisata di Bali.
“Kami sudah membuat program kerja ke depan tentu bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Bali untuk mendorong payung hukum yang bisa menaungi bisnis-bisnis yang bergerak di bidang vila rental,” ujarnya. Adnyana menyebut dari survei yang mereka lakukan bisnis vila ilegal banyak ditemui di wilayah Canggu, Uluwatu dan Ubud. Hal ini terasa ketika para broker ini melihat jumlah wisatawan yang datang tidak sebanding dengan okupansi akomodasi resmi. “Tiga daerah ini sangat padat, kalau kami hitung berdasarkan tamu yang tinggal di sana dengan kepadatan seperti itu tidak cocok sebenarnya, kebetulan kami melakukan survei ternyata ada komunitas tidak terdeteksi di sana yang melakukan bisnis ilegal,” ujarnya.
“Kami bandingkan dengan jumlah wisatawan yang ada tidak cocok dengan okupansi yang kami miliki, entahlah mereka tinggal di vila bodong tidak berizin atau justru memiliki vila sendiri yang kami tidak deteksi,” tandas Adnyana. 7