ARTICLE AD BOX
Dengan merogoh kocek sedalam Rp 5 juta, konsumen sudah bisa mendapatkan kambing jenis Etawa atau Randu Jawa paling gemuk yang mereka punya. Harga ini, kata Rizal, 34, salah satu pedagang di lokasi tersebut, termasuk murah dibanding pedagang di tempat lain yang mematok margin Rp 500.000 dari modal.
“Kami di sini ambil untung itu Rp 400.000, tidak berani lebih karena takut tidak habis terjual,” ujar Rizal, pria asal Karangasem yang jauh-jauh ke Denpasar untuk menjajakan kambing kurban setiap tahun.
Berbeda dengan pedagang kambing potong pada umumnya, pedagang kambing kurban musiman tidak memelihara atau menggemukkan kambing sepanjang tahun. Mereka biasanya memiliki profesi lain di keseharian dan hanya berganti profesi sebagai pedagang kambing kurban jelang Idul Adha.
Oleh karena itu, pedagang kambing kurban musiman yang datang dari luar Kota Denpasar terbebani target stok terjual habis. Salah satu caranya adalah menjual dengan harga lebih rendah dari pedagang yang sudah mapan/tetap di Denpasar, meski komoditasnya sedang dicari-cari saat Idul Adha.
“Paling murah kami jual Rp 2,7 juta dan paling mahal itu Rp 5 juta. Apalagi sekarang itu banyak saingan. Yang dulunya beli di kami, sekarang ikut jualan,” beber Rizal.
Variasi harga Rp 2,7 juta sampai Rp 5 juta ini ditentukan ukuran kambing seperti kecil, sedang, sampai besar. Walaupun harga ditentukan berdasarkan ukuran, transaksi dilakukan tanpa proses penimbangan, melainkan dikira-kira secara kasat mata, lantas ditutup dengan kesepakatan harga.
Kambing-kambing kurban yang dijual Rizal dan rekan-rekannya di lokasi yang sama diambil dari daerah Jembrana, Buleleng, dan Tabanan. Kambing kurban ini dibeli putus dari peternak, sehingga terjual atau tidak tetap dibeli penuh oleh pedagang.
Sejak menggelar kandang non permanen, Selasa (27/5/2025) lalu, Rizal baru berhasil menjual dua ekor kambing seharga Rp 3,6 juta per ekor. Ia mengakui animo konsumen memang belum tinggi lantaran belum H-3 atau H-2 Idul Adha.
“Konsumen biasanya beli dekat-dekat Idul Adha supaya enggak repot memelihara lagi. Tahun lalu saya bisa jual 98 ekor, semoga tahun ini bisa lebih dari itu,” tandas Rizal. *rat
“Kami di sini ambil untung itu Rp 400.000, tidak berani lebih karena takut tidak habis terjual,” ujar Rizal, pria asal Karangasem yang jauh-jauh ke Denpasar untuk menjajakan kambing kurban setiap tahun.
Berbeda dengan pedagang kambing potong pada umumnya, pedagang kambing kurban musiman tidak memelihara atau menggemukkan kambing sepanjang tahun. Mereka biasanya memiliki profesi lain di keseharian dan hanya berganti profesi sebagai pedagang kambing kurban jelang Idul Adha.
Oleh karena itu, pedagang kambing kurban musiman yang datang dari luar Kota Denpasar terbebani target stok terjual habis. Salah satu caranya adalah menjual dengan harga lebih rendah dari pedagang yang sudah mapan/tetap di Denpasar, meski komoditasnya sedang dicari-cari saat Idul Adha.
“Paling murah kami jual Rp 2,7 juta dan paling mahal itu Rp 5 juta. Apalagi sekarang itu banyak saingan. Yang dulunya beli di kami, sekarang ikut jualan,” beber Rizal.
Variasi harga Rp 2,7 juta sampai Rp 5 juta ini ditentukan ukuran kambing seperti kecil, sedang, sampai besar. Walaupun harga ditentukan berdasarkan ukuran, transaksi dilakukan tanpa proses penimbangan, melainkan dikira-kira secara kasat mata, lantas ditutup dengan kesepakatan harga.
Kambing-kambing kurban yang dijual Rizal dan rekan-rekannya di lokasi yang sama diambil dari daerah Jembrana, Buleleng, dan Tabanan. Kambing kurban ini dibeli putus dari peternak, sehingga terjual atau tidak tetap dibeli penuh oleh pedagang.
Sejak menggelar kandang non permanen, Selasa (27/5/2025) lalu, Rizal baru berhasil menjual dua ekor kambing seharga Rp 3,6 juta per ekor. Ia mengakui animo konsumen memang belum tinggi lantaran belum H-3 atau H-2 Idul Adha.
“Konsumen biasanya beli dekat-dekat Idul Adha supaya enggak repot memelihara lagi. Tahun lalu saya bisa jual 98 ekor, semoga tahun ini bisa lebih dari itu,” tandas Rizal. *rat