ARTICLE AD BOX
DENPASAR, NusaBali
Raup Rp 325,47 miliar dari modus pembuatan 365 kredit fiktif, eks Dirut PT BPR Bali Artha Anugrah Ida Bagus Toni Astawa, 55, dan I Nengah Sujana, 63, selaku Direktur Operasional dituntut pidana 8 tahun penjara pada sidang di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Selasa (29/4) siang. Dalam surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Putu Oka Bhismaning dkk, menyatakan para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan alternatif pertama yaitu Pasal 49 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 8 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan pidana denda sebesar Rp 10 miliar, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka kepada terdakwa dikenakan pidana pengganti denda berupa pidana kurungan selama 6 bulan kurungan,” tegas JPU.
JPU juga menerangkan hal-hal yang memberatkan tuntutan terdakwa, yaitu perbuatan terdakwa mengakibatkan kinerja PT BPR Bali Artha Anugrah menjadi tidak sehat dan mengalami masalah permodalan karena harus menanggung kerugian hingga dicabut izin usahanya, dan perbuatan terdakwa berpotensi menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Sementara hal yang meringankan tuntutan adalah terdakwa belum pernah dihukum dan bersikap sopan dalam persidangan.
Selama sidang dijelaskan, dalam kurun waktu 23 Februari 2017 hingga 27 Juni 2023, terdakwa Ida Bagus Toni Astawa yang juga menjabat sebagai Ketua KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) Denpasar dan I Nengah Sujana, bersama dengan I Gede Dodi Artawan (penuntutan berkas terpisah) selaku Kepala Bagian Kredit, yang juga dituntut 6 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider 6 bulan kurungan bersamaan dengan kedua terdakwa utama ini melakukan manipulasi data kredit di BPR yang terletak di Jalan Diponegoro No 171, Dauh Puri Kelod, Denpasar Barat.
Mereka menciptakan 635 fasilitas kredit menggunakan 151 nama debitur, dengan total plafon mencapai Rp 325,47 miliar. Kredit fiktif ini digunakan untuk menutupi tingginya Non-Performing Loan (NPL) atau kredit bermasalah di bank tersebut agar tetap berada di bawah 3%. “Dengan demikian, laporan keuangan seolah-olah menunjukkan kondisi keuangan bank yang sehat,” ungkap JPU.
Proses rekayasa ini dilakukan dengan berbagai cara, seperti menggunakan data debitur lama yang telah melunasi pinjamannya atau debitur yang sedang menunggak sebagai pemohon kredit baru. Mereka juga menggunakan agunan yang sama untuk beberapa kredit berbeda atau bahkan menentukan sendiri agunan tanpa verifikasi.
Saat I Gede Dodi Artawan masih menjabat Account Officer, dia membuat kredit fiktif dengan membuat memorandum usulan kredit, analisa keuangan, analisa kredit yang hanya formalitas saja karena tidak sesuai dengan faktanya (palsu). “Dodi tidak melakukan survey lokasi debitur, jaminan debitur, survey usaha ataupun penghasilan debitur, tapi setelah berkas kredit lengkap, diserahkanlah kepada komite kredit yaitu terdakwa Toni Astawa selaku Direktur Utama,” beber JPU.
Setelah Dodi menjabat Kabag Kredit pada 2018, dia dapat lebih lihai melakukan pembuatan kredit fiktif dengan mengisi analisa kredit, memorandum kredit, permohonan kredit, perjanjian kredit yang tidak sesuai fakta atau dengan cara memalsukan data dan selanjutnya menandatangani berkas kredit sebagai komite kredit. Dalam sistem perbankan, mereka juga mengubah catatan agar transaksi seolah-olah tampak sah.
Setiap akhir bulan, apabila nilai NPL BPR Bali Artha Anugrah melebihi 5%, Toni Astawa memerintahkan pencairan kredit fiktif guna membayar tunggakan angsuran pokok dan bunga dari debitur yang bermasalah. “Dana pencairan tersebut tidak benar-benar diserahkan kepada debitur, melainkan langsung digunakan untuk membayar tunggakan,” katanya.
Dari total kredit fiktif senilai Rp 325,47 miliar, sebagian dana digunakan untuk kepentingan pribadi. Toni Astawa diketahui menerima dana sebesar Rp 8,61 miliar, sedangkan I Nengah Sujana menggunakan Rp 170 juta yang digunakanya untuk membeli kendaraan. Selain itu, dana juga digunakan untuk menutupi biaya administrasi pencairan kredit fiktif, provisi, dan materai. Manipulasi ini akhirnya terungkap setelah audit keuangan menemukan ketidaksesuaian laporan serta agunan kredit yang tidak valid. 7 t