Sudirta : Ciptakan Risiko dalam Pengawasan

6 hours ago 1
ARTICLE AD BOX
Perusahaan super-holding ini mengoptimalkan manajemen keuangan negara, namun secara ekuivalen juga menciptakan risiko dalam pengawasannya. “Kekhawatiran masyarakat tentu ada juga. Salah satu kekhawatiran tersebut adalah terkait dengan risiko pengawasan dan penegakan hukumnya,” ujar Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Dr I Wayan Sudirta, Selasa (13/5).

Menurut Sudirta lahirnya UU tersebut dinilai masyarakat bisa membuka jalan bagi pelaku korupsi. “Diskusi mengenai penegakan hukum mengemuka ketika UU BUMN yang baru mengatur mengenai subyek BUMN yang bukan dikategorikan penyelenggara negara,” ujar Sudirta. 

Seperti kata Sudirta, pada Pasal 3X ayat (1) dan Pasal 9G UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN mengatur bahwa organ dan pegawai badan maupun direksi, dewan pengawas, dewan komisaris bukan penyelenggara negara. Pengaturan ini menimbulkan polemik karena dinilai seolah melindungi seluruh BUMN dari penindakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti  diatur dalam UU KPK maupun UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. “Data menunjukkan bahwa KPK telah melakukan penegakan hukum terkait kasus di BUMN. Sebagaimana disampaikan oleh ICW, dari 2016-2021 saja terdapat 119 kasus dan 340 tersangka. KPK maupun Kejaksaan Agung juga melakukan penindakan terhadap kasus yang terjadi di BUMN, seperti pada kasus Pertamina,” tegas pendiri Bali Corruption Wacth (BCW) ini.

Menurut Sudirta, Penyelenggara Negara telah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Selanjutnya kewenangan KPK diatur dalam Pasal 11 Ayat (1) UU KPK yang menyatakan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain serta/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.

Ditegaskan Sudirta, terdapat uji materi terkait dengan apakah pengelolaan keuangan BUMN masuk dalam kategori kekayaan negara atau keuangan negara sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Putusan MK Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Putusan MK Nomor 62/PUU-XI/2013 termasuk berkaitan dengan Putusan MK Nomor 59/PUU-XVI/2018 (Dana Pensiun) serta Nomor 26/PUU-XIX/2021 (anak perusahaan BUMN). “Putusan MK Nomor 48/PUU-XI/2013 menyatakan rumusan pengertian mengenai keuangan negara dalam Pasal 1 angka 1 UU Keuangan Negara menggunakan rumusan pengertian yang bersifat luas dan komprehensif. BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya yang seluruh atau sebagian besar sahamnya merupakan milik negara adalah merupakan kepanjangan tangan negara,” tegasnya.

Advokat senior ini mengatakan, KPK telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 12 Tahun 2025 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas, Fungsi, dan Kewenanvan Komisi Pemberantasan Korupsi Pasca Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2023 tentang Badan Usaha Milik Negara. 

Melalui surat edaran tersebut, KPK memiliki kajian bahwa meskipun terdapat UU BUMN, UU KPK tetap berlaku, sepanjang terdapat unsur penyalahgunaan wewenang. Ini berarti KPK memahami bahwa kerugian atau keuangan Danantara atau BUMN tetap dapat masuk dalam ranah unsur “kerugian negara” dan organ, pengurus, pejabat atau pegawai BUMN tetap dapat dianggap sebagai penyelenggara. “Saya melihat akan menjadi tantangan tersendiri bagi aparat penegak hukum khususnya KPK dalam mengusut kejahatan korupsi di BUMN secara profesional dan efektif. Pembuktian mengenai unsur tindak pidana korupsi atau kelalaian atau kesalahan korporasi akan menjadi hal yang selalu akan diperdebatkan oleh advokat maupun insan hukum lainnya,” tegas politisi asal Desa Pidpid, Kecamatan Abang, Karangasem ini.n nat
Read Entire Article